Sadranan di Boyolali: Tradisi Ramadan yang penuh toleransi
Boyolali – Menjelang bulan Ramadan, warga Dusun Sidorejo, Cepogo, Boyolali, Jawa Tengah, kembali menggelar tradisi Sadranan. Tradisi turun-temurun ini tidak hanya menjadi momen untuk berziarah ke makam leluhur, tetapi juga simbol kuatnya toleransi antarumat beragama di wilayah lereng Gunung Merapi dan Merbabu.

Sejak pagi, warga Muslim dan Nasrani bergotong royong menyiapkan tenong—wadah berisi aneka makanan—yang kemudian dibawa ke makam pemuka desa. Di sana, ratusan warga berkumpul, berdoa sesuai dengan keyakinan masing-masing, dan memohon agar para leluhur diterima di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa.
Rosyidi, tokoh masyarakat setempat, menuturkan bahwa tradisi ini telah berlangsung sejak zaman nenek moyang dan menjadi warisan yang harus dilestarikan. “Di Sidorejo, umat Islam dan Kristiani hidup rukun. Dalam Sadranan, semua menyatu tanpa membedakan agama. Ini adalah bentuk syukur atas rezeki dan momen untuk mempererat persaudaraan,” ujarnya.

Hal senada diungkapkan oleh Suparno, salah satu warga Nasrani. Ia menegaskan bahwa kebersamaan dalam tradisi ini sudah terjalin sejak dahulu. “Kami di sini sudah terbiasa hidup rukun. Ikut serta dalam Sadranan adalah bagian dari kebersamaan yang kami jaga dari generasi ke generasi,” katanya.
Setelah doa bersama, warga melanjutkan tradisi dengan makan bersama sebagai ungkapan rasa syukur. Tradisi Sadranan ini digelar setahun sekali pada pertengahan bulan Syakban dan selalu melibatkan seluruh warga, tanpa memandang perbedaan agama.
Di tengah berbagai tantangan zaman, Dusun Sidorejo tetap menjadi contoh bagaimana tradisi dan nilai-nilai toleransi dapat terus dijaga. Sadranan bukan hanya sekadar ritual tahunan, tetapi juga simbol eratnya persaudaraan antarumat beragama di Boyolali.
Ahza Ardani | Boyolali Jawa Tengah