Ketua Umum DPP Pro Jurnalismedia Siber (PJS) Mahmud Marhaba

Catatan Mahmud Marhaba (Ketua Umum DPP PJS)

Kasus laporan terhadap 23 media online di Belitung mengguncang dunia jurnalistik, setelah dugaan pencemaran nama baik yang berkaitan dengan pemberitaan tentang proses pendaftaran calon kepala daerah. HP, yang merasa dirugikan oleh pemberitaan tersebut, melaporkan media-media ini ke Polres Belitung, bahkan setelah terbitnya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang menandakan penyelesaian kasus lewat perdamaian.

Namun, pertanyaan besar muncul: Mengapa laporan ini dilanjutkan sebagai kasus pencemaran nama baik? Persoalan ini ternyata bermula dari ketidakhadiran wartawan dalam konferensi pers yang digelar oleh HP, serta ketidakjelasan mengenai informasi yang disampaikan ke media. Hal ini membawa kita pada pentingnya memahami bahwa sengketa semacam ini, dalam konteks jurnalistik, harus diselesaikan melalui mekanisme yang sesuai dengan undang-undang pers.

Sebagai Ketua Umum DPP Pro Jurnalismedia Siber (PJS), saya melihat bahwa kasus ini lebih merupakan sengketa hasil karya jurnalistik. Meskipun ada kelalaian dalam menjalankan kewajiban meminta hak jawab kepada HP, pemberitaan yang disebarkan oleh media tidak dapat dikategorikan sebagai berita hoaks.

Penting untuk dipahami bahwa dalam menangani masalah terkait karya jurnalistik, aparat penegak hukum (APH) harus berkoordinasi dengan Dewan Pers sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat. Menurut ketentuan yang berlaku, jika laporan berhubungan dengan karya jurnalistik, penyelesaian seharusnya melalui mekanisme hak jawab, bukan melalui jalur hukum yang berpotensi merugikan kebebasan pers.

Sebagai langkah lebih lanjut, saya mendesak Polres Belitung untuk berkonsultasi dengan Dewan Pers agar langkah-langkah yang diambil sesuai dengan tatanan hukum yang benar. Sehingga, masalah ini dapat diselesaikan dengan adil dan tidak menimbulkan preseden buruk bagi kebebasan pers di Indonesia.