BOYOLALI – Meski namanya tidak sepopuler masjid lain yang umumnya terletak di pusat kota, Masjid Cipto Mulyo yang terletak di kawasan wisata Umbul Pengging, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, menyimpan sejarah dan keunikan tersendiri.
Terletak di kawasan yang erat kaitannya dengan peninggalan Kasunanan Surakarta, masjid ini masih kokoh berdiri meski usianya sudah lebih dari satu abad. Dengan kondisi yang terawat, masjid ini tetap mempertahankan arsitektur kuno berupa kayu.
Masjid Cipto Mulyo memiliki lima pintu utama, yang masing-masing melambangkan lima rukun Islam dan lima waktu sholat. Semua pintu utama ini terletak di bagian depan bangunan.
Di serambi depan, tepat di atas tangga masuk, terdapat prasasti kayu yang bertuliskan dalam huruf Jawa. Prasasti tersebut mencatatkan tanggal berdirinya masjid pada hari Selasa Pon, 14 Jumadil Akhir tahun 1838 dalam penanggalan Jawa, atau tepatnya pada tahun 1905 Masehi. Pada 2025, masjid ini genap berusia 120 tahun.
Masjid Cipto Mulyo memiliki makna yang berbeda dengan mayoritas masjid di Indonesia. Meski umumnya masjid menggunakan bahasa Arab, masjid ini menekankan kemuliaan dunia dan akhirat dalam setiap aspeknya. Di atas setiap pintu, terdapat ukiran yang menyisipkan tulisan “PB ),” yang menandakan bahwa masjid ini dibangun pada masa pemerintahan Pakubuwono X.
Pesan dari Imam Masjid Cipto Mulyo
Achmadi Harjono, Imam Masjid Cipto Mulyono mengungkapkan, “Sebelum merdeka, masjid ini sudah berdiri. Jika dihitung sampai sekarang, berarti sudah 120 tahun, lebih dari satu abad.
Bangunan masjid ini masih kokoh seperti dulu. Masjid Cipto Mulyo dibangun oleh Pakubuwono X, Sunan Solo, agar setiap jemaah yang datang menjadi orang yang mulia, baik di dunia maupun akhirat.”
Jejak Sejarah Penyebaran Islam di Pengging
Beribadah di tempat bersejarah seperti Masjid Cipto Mulyo memberikan kenikmatan tersendiri. Selain sebagai tempat ibadah, masjid ini juga merupakan saksi bisu dalam penyebaran Islam, khususnya di wilayah Pengging. Bangunannya yang unik menampilkan desain Jawa kuno berbentuk limasan yang menyerupai pendopo.
Sejumlah benda bersejarah yang masih asli, seperti bedug dan kentongan, tetap dipertahankan. Bedug besar yang terbuat dari kayu utuh ini dilengkapi dengan tulisan “PB 10,” menandakan bahwa benda tersebut berasal dari masa pemerintahan Pakubuwono X. Mimbar khotbah yang digunakan hingga saat ini juga masih merupakan bagian dari peninggalan masa lalu. Tak ketinggalan, kubah masjid yang memiliki arah angin pun dipertahankan untuk menjaga kelestarian fungsi dan keunikan arsitekturnya.
Kearifan Lokal dalam Desain Masjid
Menurut R. Surojo, seorang pegiat sejarah Jawa, “Pakubuwono X memerintahkan para abdi dalemnya untuk membangun masjid yang memiliki ciri khas seperti masjid di Keraton Surakarta. Lantai masjid ini tinggi, dan ada mata angin yang menunjukkan arah kiblat. Semua ini dirancang untuk memudahkan jemaah dalam beribadah dengan rasa tawadhu dan ikhlas. Masjid ini juga dibangun dekat dengan pemandian agar orang yang bersuci merasa lebih tenang, dengan air yang lebih jernih dan suci.”
Masjid untuk Kerabat Keraton Surakarta
Masjid Cipto Mulyo awalnya hanya diperuntukkan bagi kerabat Keraton Surakarta. Dulu, masjid ini menjadi tempat persinggahan sementara bagi kerabat keraton setelah mereka melakukan siraman (mandi) di Umbul Pengging.
Dengan segala sejarah, makna, dan nilai yang terkandung di dalamnya, Masjid Cipto Mulyo tetap menjadi salah satu warisan budaya yang sangat bernilai. Sebagai tempat ibadah, masjid ini bukan hanya sebuah bangunan fisik, tetapi juga merupakan simbol dari perjalanan panjang sejarah Islam di Jawa Tengah.
(Ahza Argani)