Gambar : Ilustrasi

eChannel.co.id | OPINI

Di tengah gonjang-ganjing melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika, muncul satu kalimat yang kerap terdengar di ruang-ruang publik, dari warung kopi hingga kolom komentar media sosial: “Bodo amat Rupiah anjlok, toh saya gak punya Dolar.” Kalimat ini—meski terdengar santai—sebetulnya adalah perwujudan dari optimisme semu yang menyejukkan, sekaligus menyesatkan.

Mari kita luruskan sedikit. Negara ini meminjam uang dalam bentuk Dolar. Saat nilai tukar Dolar naik, utang kita ikut naik. Bunga membengkak. Beban anggaran meningkat. Tapi tak apa, kan katanya bukan kita yang bayar. Biarlah nanti anak cucu yang pusing. Yang penting sekarang masih bisa rebahan sambil scroll TikTok.

Lalu muncul argumen klasik lain, “Saya nggak pernah beli barang impor. Toh tiap hari makan tempe, minumnya teh tubruk, naik motor ke pasar beli cabai.” Terlihat sangat lokal, sangat membumi. Tapi sayangnya, kita sering lupa bahwa tempe butuh kedelai—yang sebagian besar masih impor. Motor butuh BBM—yang sebagian besar juga impor. Bahkan pupuk dan pestisida untuk cabai yang kita beli pun banyak yang berasal dari luar negeri. Semua itu dibayar pakai Dolar.

Jadi saat Dolar naik, jangan kaget kalau harga-harga ikut naik meski yang kita beli tampak “lokal.” Karena dalam ekonomi global, produk lokal pun bisa tergantung pada komponen global. Dan sayangnya, Dolar tak pernah menanyakan apakah kita belanja di pasar tradisional atau supermarket.

Lucunya, ketika harga mulai naik, subsidi dikurangi, dan daya beli makin nyungsep, kita juga yang ramai-ramai mengeluh. Teriak di media sosial. Marah pada pemerintah. Tapi sebelumnya, kita sendiri yang mengamini logika ajaib “bodo amat.”

Dalam ekonomi, tidak memiliki Dolar bukan berarti tidak terdampak. Dalam dunia nyata, semua saling terkait. Harga kebutuhan pokok, biaya produksi, hingga ongkos transportasi—semuanya bisa terpengaruh karena satu hal kecil: nilai tukar.

Jadi, sebelum terlalu santai dan terus hidup dalam gelembung “aku mah aman,” ada baiknya kita mulai waspada. Hemat. Belanja sesuai kebutuhan. Dukung produk lokal dan UMKM. Hidupkan kembali pasar tradisional. Dan kalau ke mal, cukup cuci mata saja. Lihat barang mewah cukup dari balik etalase. Jangan paksakan diri jadi Ikan Paus jika dompet masih level Teri. Tak perlu gengsi, yang penting waras dan bertahan.

Karena dalam dunia yang makin tidak pasti, cuek bukan lagi bentuk kebebasan—tapi bisa jadi awal kehancuran.

Redaksi : Echannel.co.id | Heru Warsito