Jakarta, eChannel.co.id– Menanggapi kebijakan dan dampak tarif balasan Presiden Amerika Serikat Donald Trump terhadap produk impor dari sejumlah negara, termasuk Indonesia, Menteri Pariwisata RI, Widiyanti Putri Wardhana, menegaskan bahwa pariwisata dapat menjadi pilar utama ketahanan ekonomi nasional dalam menghadapi tekanan eksternal global.
Kebijakan proteksionis terbaru dari AS berdampak besar terhadap sektor ekspor manufaktur Indonesia. Namun, menurut Menpar Widiyanti, Indonesia memiliki alternatif kuat yang tidak terpengaruh tarif dagang, yakni sektor pariwisata. “Pariwisata adalah bentuk ekspor jasa yang tak tersentuh tarif perdagangan. Saat ekspor barang terdampak, sektor ini bisa menjadi penyeimbang devisa negara,” ungkapnya dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (4/4).

Tiga Strategi Pariwisata Nasional Hadapi Tekanan Ekonomi Global
Dalam paparannya, Menpar Widiyanti merinci tiga strategi utama yang disiapkan Kemenparekraf:
- Ekspor Jasa Pariwisata sebagai Penopang Devisa
Indonesia mencatat kunjungan 13,9 juta wisatawan mancanegara (wisman) pada 2024. Namun, distribusi wisatawan masih terpusat di Bali dan beberapa destinasi unggulan. Pemerintah kini tengah mendorong penyebaran wisatawan ke destinasi lain melalui program 10 Bali Baru dan pengembangan destinasi super prioritas seperti Labuan Bajo, Danau Toba, Borobudur, dan Likupang.

Menurut data Bank Indonesia, kontribusi pariwisata terhadap devisa mencapai USD 11,3 miliar pada 2023. Ini menjadikan sektor pariwisata sebagai penyumbang devisa terbesar kedua setelah sawit.
- Penguatan UMKM Pariwisata & Ekonomi Lokal
Kemenparekraf juga memperkuat desa wisata sebagai pusat aktivitas ekonomi berbasis budaya dan kearifan lokal. Hingga Maret 2025, tercatat lebih dari 5.000 desa wisata aktif, dengan lebih dari 45% didukung UMKM lokal dalam sektor kuliner, homestay, dan kerajinan.
Inisiatif ini diyakini dapat meminimalisir ketimpangan ekonomi dan memperluas manfaat ekonomi pariwisata hingga ke akar rumput.
- Fokus pada Wisata Berkualitas (High-Quality Tourism)
Alih-alih mengejar volume, pemerintah kini berfokus pada pengembangan wisata berkualitas. Menurut laporan World Travel and Tourism Council (WTTC), wisatawan dengan pengeluaran tinggi cenderung lebih tahan terhadap ketidakpastian global dan membawa dampak ekonomi jangka panjang yang signifikan.

Program unggulan “Pariwisata Naik Kelas” mengarah ke sektor maritim, gastronomi, dan wellness tourism. Langkah ini selaras dengan tren global pariwisata pascapandemi yang mengedepankan pengalaman personal, kesehatan, dan keberlanjutan lingkungan.
Peluang Strategis Hadapi Ancaman Global
Langkah Kemenparekraf ini juga sejalan dengan strategi pemerintah dalam memperkuat sektor-sektor ekonomi non-tradisional. Ekonom dari INDEF, Bhima Yudhistira, menyebutkan bahwa “ekspor jasa seperti pariwisata bisa menjadi penyelamat neraca perdagangan ketika komoditas terkena tekanan proteksionisme global.”
Sementara itu, analis ekonomi dari World Bank menyarankan Indonesia untuk meningkatkan resiliensi sektor jasa agar tidak mudah terdampak fluktuasi geopolitik, termasuk mengurangi dari dampak tarif ini.
Dengan mengoptimalkan kekuatan pariwisata sebagai sektor devisa yang fleksibel, Indonesia diharapkan tidak hanya dapat bertahan dari tekanan tarif AS, tetapi juga memperkuat daya saing di pasar global. Menpar Widiyanti menuup pernyataannya dengan optimisme, “Pariwisata bukan sekadar sektor ekonomi. Ini adalah strategi ketahanan nasional.”
Redaksi Echannel.co.id