KUPANG, NTT – Perjuangan panjang selama tiga tahun yang dilakukan Himpunan Pengusaha Peternak Sapi dan Kerbau (HP2SK) Provinsi Nusa Tenggara Timur akhirnya membuahkan hasil. DPRD NTT melalui Komisi II menyetujui revisi Peraturan Gubernur (Pergub) NTT Nomor 52 Tahun 2023 yang selama ini dinilai menyulitkan peternak dan pengusaha sapi lokal.

Dalam revisi tersebut, salah satu poin penting yang disepakati adalah penurunan batas minimal bobot sapi yang boleh dikirim dari 275 kilogram menjadi 250 kilogram.

Perubahan ini dianggap sebagai langkah positif dalam mendukung kelangsungan usaha peternakan rakyat.

Ketua HP2SK NTT, Tono Sufari Sutami, yang didampingi oleh Wakil Ketua David Anunut, menyampaikan apresiasi atas keputusan DPRD tersebut pada Kamis (24/4/2025).

Menurutnya, langkah ini menunjukkan respons nyata terhadap aspirasi peternak dan pengusaha ternak di NTT yang selama ini terkendala aturan yang terlalu memberatkan.

“Kami sudah mengajukan permintaan revisi sejak tiga tahun lalu. Alasan kami jelas, karena kondisi di lapangan sangat tidak mendukung pelaksanaan aturan lama. Peternak butuh perputaran modal cepat, tapi pengusaha sulit membeli sapi karena harus memenuhi bobot minimal yang tidak realistis,” ujar Tono.

Tono menambahkan bahwa HP2SK juga telah mengusulkan pengurangan syarat luas lahan penggembalaan dari 50 hektare, karena sebagian besar pelaku usaha ternak di NTT adalah peternak skala kecil yang tidak memiliki lahan seluas itu.

Tangkal Isu Negatif dan Harapan ke Depan

Sementara itu, David Anunut menyayangkan munculnya isu tak berdasar terkait dugaan praktik jual beli rekomendasi pengiriman ternak.

Dirinya menegaskan bahwa seluruh proses distribusi ternak telah mengikuti ketentuan dari Dinas Peternakan.

“Rekomendasi dikeluarkan sesuai prosedur. Selama memenuhi syarat dan tersedia sapi, rekomendasi pasti diberikan, tanpa memandang asal pengusaha. Tuduhan itu hanya dimainkan oleh oknum tertentu yang ingin mencoreng citra peternak lokal,” tegas David.

David juga berharap agar revisi yang telah disepakati ini bisa segera difinalisasi dalam bentuk regulasi resmi yang lebih ramah terhadap kondisi peternakan di daerah.

“Dengan regulasi yang lebih realistis dan inklusif, kami optimis sektor peternakan di NTT akan tumbuh lebih pesat dan memberikan dampak ekonomi yang positif bagi masyarakat,” tutupnya.***

Rudy S