Keraton Kasunanan Surakarta kembali menggelar tradisi Malam Selikuran pada malam ke-21 Ramadan, Kamis malam ( Tyo)

Solo, eChannel.co.id, Keraton Kasunanan Surakarta kembali menggelar tradisi Malam Selikuran pada malam ke-21 Ramadan, Kamis malam, sebagai bagian dari peringatan Lailatul Qadar. Tradisi ini ditandai dengan kirab membawa lampu ting atau lentera, obor, serta jodang berisi makanan yang nantinya akan dibagikan kepada masyarakat.

Kirab dimulai sekitar pukul delapan malam, dengan iring-iringan yang bergerak dari Keraton Kasunanan menuju kawasan Sriwedari, menempuh perjalanan sejauh sekitar 3,5 kilometer. Dalam rombongan ini terdapat prajurit, kerabat keraton, dan para abdi dalem yang terbagi dalam beberapa kelompok, di antaranya kelompok yang menyanyikan tembang spiritual, kelompok yang membawa lampu ting, serta kelompok yang membawa jodang berisi makanan. Kelompok hadrah warga turut memeriahkan jalannya kirab, menambah kekhidmatan acara yang sudah menjadi tradisi turun-temurun ini.

Malam Selikuran merupakan bagian dari tradisi keraton yang dilakukan dalam rangka menyambut sepuluh malam terakhir Ramadan. Lampu ting yang dibawa dalam kirab melambangkan cahaya bulan yang menerangi kegelapan, simbol pencarian cahaya Ilahi dalam malam-malam penuh keberkahan. Melalui tradisi ini, kerabat keraton, abdi dalem, dan masyarakat diajak untuk lebih mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa.

Puncak acara dari Malam Selikuran adalah pembagian makanan dari jodang, yang berisi aneka jajanan pasar dan tumpeng kecil, kepada para kerabat, abdi dalem, dan warga. Suasana semakin semarak saat masyarakat dengan antusias menyambut makanan yang dibagikan, mencerminkan semangat kebersamaan dan gotong royong dalam tradisi ini.

Kirab Lampu Ting telah berlangsung sejak masa pemerintahan Pakubuwono X sekitar tahun 1930 dan masih lestari hingga sekarang. Selain sebagai wujud penghormatan terhadap tradisi leluhur, kegiatan ini juga menjadi ajang silaturahmi antara keraton dan masyarakat. Sejarah mencatat bahwa tradisi Malam Selikuran awalnya diperkenalkan oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma, kemudian dikembangkan oleh Pakubuwono IX dan diperkokoh oleh Pakubuwono X. Pada masa lalu, kirab dimulai dari keraton menuju Masjid Agung, lalu berlanjut ke Taman Sriwedari, dengan iring-iringan yang dipimpin oleh kereta harian Sinuhun Pakubuwono X serta diikuti oleh barisan pusaka keraton dan barisan Pakasa (Paguyuban Karaton Surakarta).

Dalam tradisi ini, terdapat beberapa elemen penting yang memiliki makna mendalam, seperti lampu ting yang melambangkan penerangan spiritual, tumpeng kecil yang berjumlah seribu sebagai simbol keberkahan, dan ancak cantoka—wadah makanan yang mencerminkan keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan rohani.

Tradisi Malam Selikuran bukan hanya ritual budaya, tetapi juga momentum untuk memperkuat nilai-nilai spiritual dan kebersamaan. Diharapkan melalui perayaan ini, masyarakat semakin memahami pentingnya menjaga hubungan baik dengan sesama serta semakin dekat dengan Sang Pencipta, khususnya dalam malam-malam istimewa bulan Ramadan.

Tyo | Solo Jawa Tengah | editor : Heru W